Dari Cawe-cawe hingga ke Omon-omon

Kolom, Effendy Asmara Zola

SAMA kita ketahui debat  calon presiden-wakil calon presiden (capres-cawapres), telah berlangsung tiga kali dari 5 kali yang diaturkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Masih tersisa dua kali pertarungan lagi sampai dengan jelang minggu tenang menunggu detik-detik publik berduyun-duyun memberikan hak suaranya.

Apa yang diperdebatkan menjadi tak menarik lagi, karena debat itu sendiri diperdebatkan oleh para pendebat. Buntut-buntutnya debat politik menjadi debat kusir tentang ini itu, wal ini wal itu wal hantu tak tentu rudu.

Maka Qur’an dan hadizt sudah mengatakan, debat itu tak ada gunanya, akan menimbulkan banyak mudaratnya ketimbang manfaat.

Allah membenci perdebatan karena menyebabkan perselisihan dan permusuhan. Dalam hadist riwayt At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda;

 “Tidak ada kaum yang sesat setelah petunjukku kecuali orang-orang yang suka berdebat.”

“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.” (HR. Bukhari, No. 4523)”

Tujuan debat sejatinya hanyalah untuk mencari kebenaran. Maka ketika kebenaran sudah diterima dengan akal sehat dan logika, maka tidak perlu ada lagi perdebatan yang panjang.

Saat berdebat ia hanya ingin menang tanpa berusaha mencari tujuan sama sekali. Karena apa yang dicari hanyalah kemenangan diri sendiri, maka ilmunya yang banyak tidak akan mendatangkan berkah sama sekali.

Sebagai muslim, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga etika dalam setiap perbuatan yang dilakukan, termasuk salah satunya ketika berdebat. Begitulah perenungannya di balik kehendak hukum formil UU Pemilu yang tentunya tak lepas pula dari sudut etiknya.

Terkait etik itu pula yang banyak dibicarakan di ruang publik, saling serang dan berang yang untungnya tak ada meja podium yang roboh digebrak oleh luapan emosi.

Masyarakat jadi tak peduli pada substansi dari debat para kandidat, malah lebih serius menjadikannya ejekan balik dampak dari urusan etika itu.

Adalah Prabowo Subianto – capres 02 yang terlihat nyata alergi pada etika. Ujung-ujungnya nyinyirin Anies Baswedan – capres 01 dengan pandangan merendahkan dengan nyinyiran kebenciannya, “Mas Anis…. Mas Anis…”.

Nyinyiran kebencian itu pun berlanjut ke luar ruang debat, “Etik…, etik, ensdasmu etik”..

“Omon-omon, cuma omon.”

Kasihan, “kelasmu, Pak Bowo, Pak Bowo..”, tengoklah saja penilaian para pemilik suara menanggapi.

Pak Profesor?? Ah, Anies Baswedan belum profesor kok. Yang pasti paslonpres 01 ini ngerti dan memang kelebihan pintarnya kok, bentar lagi juga profeseor. Doain saja.

Pun ketika Ganjar Pranowo – capres 03 mengungkap data terkait pertahanan, 02 gelagapan dan setuju saja. Prabowo mengajak capres 01 ngopi bareng dimana saja dan kapan saja untuk melanjutkan debat berikut data. Merasa tak cukup waktu dan terbatas tempat cuma di ruang debat.

Sebagai puak Melayu,  saya numpang berpantun:

Apa tanda lezatnya jambu

Lezatnya jambu rindang pohonnya

Apa tandanya orang berilmu

Orang berilmu rendah hatinya

Terkait debat tersebut,  adalah Presiden Jokowi yang menepati janjinya, bahwa dirinya akan cawe-cawe alias campur tangan urusan pilpres. Terjadilah peristiwa Sang Putra Mahkota – Gibran Rakabuming Raka, nongkrong di kursi cawapres 02 lewat pintu gerbang Mahkamah Keluarga eh Mahkamah Konstitusi (MK).

Jokowi mengeritisi debat itu jauh dari subtansi.  Dia menilai tak ada materi gagasan dari misi-visi para kandidat, maksudnya kandidat 01 dan 03. Tapi, katanya, yang terjadi malah saling serang.

Kalau pinjam lirik lagu berjudul Ketahuan maka boleh dibilang sebagaimana salah satu baitnya begini ;  

Terakhir kau bilang padaku
Kau takkan pernah selingkuh
Tetapi ternyata dirimu
Bermain di belakangku ……. dengan capres-cawapres 02.

Nah, apa urusannya presiden campur suara soal debat yang terjadi, apa dihalalkan? Mau saling serang, saling sanjung, namanya juga debat.

Ya, menyampaikan isi kepala namanya debat. Kalau menyampaikan isi hati namanya curhat !

Omon-omon, eh omong-omong,  setakat ini Bapak berhasil lho dengan cawe-cawe dan mendukung omon-omon kendati dengan melabrak konstitusi serta demokrasi.

Tapi wahai Pak Presiden ketahuilah, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Salah satu petunjuknya terdapat pada tata cara berdebat dengan ilmu yang baik, bisa dicontoh dari perdebatan Nabi Ibrahim dengan raja Namruz, yang diabadikan dalam kitab suci Al Quran:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah), karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah: 258)” Wassalam ! (Tepian Kapuas, Senin 08-01-24).

Comments
Loading...